Jumat, 15 Mei 2015

Pentingnya PENGULANGAN dalam Pembelajaran


“Ulangi lagi dan tandai hal yang menurutmu menarik dan penting”, terdengar suara seorang ayah yang sedang mendampingi putranya belajar. Si anak dengan sedikit berat hati kemudian mengulang membaca dan memberikan tanda pada hal yang menarik dan penting pada bacaaan yang ia baca beberapa saat lalu.  Setelah selesai membaca, sang ayah dengan lembut namun berwibawa berkata, “Nak coba ulangi  membaca, kemudian catat hal yang menarik atau yang aneh dan berikan kesimpulan mengunakan kata-katamu sendiri. Dengan wajah yang sudah lebih ikhlas si anak melakukan perintah dari sang ayah. Keesokan harinya ketika  si anak pulang sekolah dan sampai ke rumah, tampak diwajahnya raut yang riang gembira. Si ibu yang melihat anaknya tersebut kemudian bertanya, “ada apa nak kok kamu kelihatan gembira sekali?”. Si anak menjawab, “hari ini aku senang sekali bu, karena hari ini aku bisa mengerjakan semua ulangan yang diberikan oleh bu guru. Sang ibu pun menjawab, “selamat ya, semoga di hari-hari selanjutnya kamu bisa melaukan hal yang sama dengan apa telah kamu lakukan hari ini”. Si anak menjawab, “terima kasih bu”. Si ibu tersenyum dan berkata, “nak kadang untuk memperoleh hal terbaik, membutuhkan kerja keras dan kadang itu membuat kita enggan atau bosan untuk melakukannya”.  “Tapi semua kerja kerasmu terbayar kan? lanjut ibu. “Ya bu, sangat terbayar,” jawab si anak penuh keyakinan.
                Dalam cerita di atas kita melihat suatu pola mengajar dari sang ayah, pengajaran yang mendorong anaknya untuk benar-benar memahami apa yang ia pelajari. Apakah si anak sangat menyukainya? Tidak sepenuhnya. Karena si anak berpikir bahwa ia sudah cukup memahami pelajaran yang sedang ia pelajari, saat pertama kali membaca. Hal ini juga mungkin terjadi pada banyak pelajar atau mahasiswa di berbagai tempat dibelahan dunia. Mereka sudah merasa memahami apa yang ia pelajari dengan sekali baca atau lihat. Bagi orang-orang jenius mungkin saja, namun bagi kebanyakan orang hal itu masih sulit terjadi.  Mereka membutuhkan pengulangan untuk dapat benar-benar memahami apa yang sedang ia baca atau pelajari.
Dalam Ulangan 6:4-9, Allah melalui musa memberikan perintah kepada para orang tua Israel untuk mendidik putra-putri mereka. Tujuannya adalah supaya anak-anak dapat mengenal Allah dan mengasihi Allah mereka dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan yang mereka miliki. Ini bukan tugas mudah, ini tugas yang berat yang membutuhkan komitmen yang teguh dari para orang tua bangsa Israel. Untuk mencapai hal itu, penekanan yang diberikan adalah dengan “pengulangan”. Ayat 6-7, “Apa yang kuperintahkan pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu …” (TB-LAI). Dalam bahasa inggris kata yang dipakai untuk kata mengulang adalah repetition. Dalam Kamus Merriam-webster, arti kata repetition adalah “the act of saying or doing something again : the act of repeating something: something that is done or said again” (http://www.merriam-webster.com/dictionary/repetition). Sedangkan dalam dictionary.reference.com kata repetition berarti “the act of repeating, or doing, saying, or writing something again; repeated action, performance, production, or presentation; something made by or resulting from repeating. (http://dictionary.reference.com/browse/repetition). Dari arti kata repetition kita mendapatkan pemahaman bahwa mengulang adalah mengulangi lagi apa yang sudah dilakukan sebelumnya untuk menghasilkan sesuatu. Mengulang dapat dilakukan dengan cara yang sama atau dengan cara yang berbeda namun substansinya sama.
Dalam Alkitab versi bahasa Inggris New International Version (NIV), Ulangan 6: 7 berbunyi, “Impress them on your children…”. Mengapa tidak mengunakan repetition? Seperti “repetition them on your children…?” Alasan yang masuk akal adalah arti dari repetition yang banyak dipahami sebagai kegiatan yang hanya mengulang dengan cara yang sama apa yang telah dilakukan sebelumnya. Kata impress berarti membuat tanda pada sesuatu dengan tekanan atau membuat berkesan atau menetap. Jika kita hubungkan dengan konteks pada pengajaran kepada anak-anak maka tugas orang tua adalah membuat ajaran yang ia ajarkan itu menetap, berkesan, dalam diri si anak. Repetition dapat menjadi sarana untuk impressing ajaran Firman Tuhan jika pengulangan tidak sekedar mengulang. Seperti dalam cerita sebelumnya yang menceritakan dua kegiatan mengulang yang berbeda. Pertama, si anak hanya diminta untuk mencari, menemukan dan menandai apa saja yang menarik dan penting dalam pelajarannnya. Kedua, si anak diminta untuk mencatat hal-hal yang penting dan menarik dengan kata-kata sendiri yang telah ia temukan sebelumnnya dan memberikan kesimpulan atas apa yang ia pelajari.
Jhon Milton Gregory[1] dalam buku Tujuh Hukum Mengajar, mengatakan pentingnya “pengulangan” dalam proses pembelajaran. Ia mengatakan bahwa dalam pengulangan, para murid sebaiknya tidak mengulangi kata-demi-kata, lebih jauh seharusnya seorang murid dapat mengungkapkan pikirannya secara tepat dengan kata-katanya sendiri, tanpa mengurangi artinya.[2] Jadi disini pengulangan bukan dalam arti sempit yang hanya mengulang kata-demi-kata, namun mengulang dengan cara baru tanpa mengurangi arti sebenarnya. Lebih jauh lagi Gregory berpendapat bahwa adalah lebih baik jika “pengulangan” tidak sekedar “pengulangan”, tetapi pada tinjauan kembali. Mengulagi kembali gagasan dipikiran berarti memikirnya kembali. Mau tidak mau hal itu merupakan tinjaun kembali. Lebih lanjut, Gregory mengatakan bahwa kegiatan ini melibatkan konsepsi-konsepsi baru serta hubungan-hubungan yang baru dan meningkatkan kemampuan dan pengaruh seseorang.[3]
Peninjuan kembali pada apa yang telah dipelajari memberikan kesan semakin menetap pada pikiran. Dengan meninjau kembali kita diharuskan untuk memikirkannya kembali apa yang telah dilalui pada waktu yang lalu. “Tinjauan yang paling sempurna dan lengkap berarti mempelajari ulang semua pelajaran itu dengan menelitinya kembali”.[4] Dengan menelitinya kembali maka pembelajar akan berjumpa dengan pemahaman-pemahanan baru dan menyempurnakan pemahaman yang masih belum lengkap. “Mengajarkan berulang-ulang” akan menjadi sesuatu yang berkesan jika  pembelajar tidak sekedar “membeo” dari para pengajar mereka.
Pengulangan harus dilakukan dengan cara yang berbeda, seperti cerita di atas misalnya. Pengulangan kata-demi-kata hanya akan menimbulkan kebosanan dan sedikit dampaknya dalam menguasai apa yang dipelajari. Tujuan mengajar adalah impress dalam diri para anak atau murid, sehingga pengulangan harus dilakukan dengan cara lain, seperti menemukan kembali hal-hal penting dan menarik, mengunakan kata-kata sendiri dalam mengungkapkan suatu konsep tertentu, dan meneliti kembali apa yang telah dipelajari guna mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam. Hal yang penting dalam pengulangan adalah bagimana pada akhirnya para pelajar dapat menemukan penerapan dari apa telah ia pelajari. Ini tentu saja akan membuat suatu pengetahuan atau pemahaman lebih menetap dalam diri anak. Hal ini tentu saja tidak hanya berlaku bagi para murid, ini juga sangat penting untuk dilakukan oleh para pengajar dalam memahami apa yang akan mereka ajarkan. Dengan mengulang para pengajar akan mampu memiliki pemahaman yang baik dan mendalam. Pengajar harus menjadi yang pertama dalam menerapkan prinsip mengulang dalam belajar, sebelum hal itu diterapkan kepada para peserta didik. Mereka harus menjadi ahli, teladan dalam mengulang. Karena sebenarnya baik pengajar ataupun murid sama-sama pembelajar. Keduanya adalah pembelajar seumur hidup, yang hanya akan berhenti belajar ketika nafas hidup mereka telah habis.


[1] John Milton Gregory adalah salah satu tokoh pendidikan yang penting di Amerika Serikat. Ia adalah salah seorang yang sangat berjasa dalam perkembangan Univesitas Illionis, USA. Buku karya beliau yang cukup terkenal keseluruh dunia adalah “Tujuh Hukum Mengajar”. Beberapa waktu kedepan saya akan mereview buku karya beliau. Buku buku beliau adalah buku yang sangat menarik dan penting untuk miliki para guru.
[2] John Milton Gregory, Tujuh Hukum Mengajar (Malang: Gandum Mas 2013), 137.
[3] Ibid, 149.
[4] Ibid, 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar